PARADIGMA
PEMBELAJARAN IPS DI INDONESIA DAN TUJUAN PEMBELAJARAN IPS
I. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Segala peristiwa yang dialami dalam kehidupan
manusia telah membentuk pengetahuan sosial dalam diri kita masing-masing.
Kehidupan sosial manusia di masyarakat beraspek majemuk yang meliputi aspek
hubungan sosisal, ekonomi, sosial, budaya, politik, psikologi, sejarah,
geografi.
Beraspek majemuk berarti kehidupan sosisal meliputi berbagai segi yang berkaiatan satu sama lain. Bukti bahwa manusia adalah multiaspek, kehidupan sosial yang merupakan hubungan aspek-aspek ekonomi adalah sandang, papan, pangan merupakan kebutuhan manusia.
Kehidupan manusia tak hanya terkait dengan aspek sejarah tatapi juga dengan aspek ruang dan tempat. Sering kita ditanya “kapan kamu lahir” dan dimana kamu lahir” ini menunjukkan bahwa ruang atau tempat memiliki makna tersendiri bagi kehidupan kita manusia. Karena setiap aspek kehidupan sosial itu mencakup lingkup yang luas untuk mempelajari dan mengkajinya menuntut bidang-bidang ilmu yang khusus.
Beraspek majemuk berarti kehidupan sosisal meliputi berbagai segi yang berkaiatan satu sama lain. Bukti bahwa manusia adalah multiaspek, kehidupan sosial yang merupakan hubungan aspek-aspek ekonomi adalah sandang, papan, pangan merupakan kebutuhan manusia.
Kehidupan manusia tak hanya terkait dengan aspek sejarah tatapi juga dengan aspek ruang dan tempat. Sering kita ditanya “kapan kamu lahir” dan dimana kamu lahir” ini menunjukkan bahwa ruang atau tempat memiliki makna tersendiri bagi kehidupan kita manusia. Karena setiap aspek kehidupan sosial itu mencakup lingkup yang luas untuk mempelajari dan mengkajinya menuntut bidang-bidang ilmu yang khusus.
Melalui ilmu-ilmu sosial dikembangkan
bidang-bidang ilmu tertentu sesuai dengan aspek kehidupan sosial masing-masing.
b. Rumusan Masalah dan
Tujuan
1. Rumusan
Masalah
Hubungan sosial yang dialami makin meluas. Dari
pengalaman dan pengenalan dan hub. Sosial tsb dalam diri seseorang akan tumbuh
pengetahuan. Pengetahuan yang melekat pada diri seseorang termasuk pada diri
orang lain dapat terangkum dalam “pengetahuan sosial”. Berlandaskan
latar belakang tersebut dapat diambil beberapa masalah seperti :
a. Apakah Pengertian IPS
b. Bagaimana paradigma pendidikan
IPS di Indonesia
c. Apakah Tujuan
Pembelajaran IPS di Indonesia
2. Tujuan
Adapun tujuan
pembelajaran ini adalah :
a. Menjelaskan
Pengertian IPS
b. Menjelaskan paradigma
pendidikan IPS di Indonesia.
c. Menjelaskan Tujuan Pembelajaran IPS di Indonesia.
II. PEMBAHASAN
a. Pengertian IPS
IPS
yang juga dikenal dengan nama social studies adalah kajian mengenai manusia
dengan segala aspeknya dalam sistem kehidupan bermasyarakat. IPS mengkaji
bagaimana hubungan manusia dengan sesamanya di lingkungan sendiri, dengan
tetangga yang dekat sampai jauh. IPS juga mengkaji bagaimana manusia bergerak
dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, IPS mengkaji tentang
keseluruhan kegiatan manusia. Kompleksitas kehidupan yang akan dihadapi siswa
nantinya bukan hanya akibat tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi saja,
melainkan juga kompleksitas kemajemukan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu,
IPS mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang berhubungan dengan manusia
dan juga tindakan-tindakan empatik yang melahirkan pengetahuan tersebut.
Sebutan
Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai mata pelajaran dalam dunia pendidikan dasar dan
menengah di negara kita, secara historis muncul bersamaan dengan
diberlakukannya Kurikulum SD, SMP, dan SMA tahun 1975. IPS memiliki kekhasan
dibandingkan dengan mata pelajaran lain sebagai pendidikan disiplin ilmu, yakni
kajian yang bersifat terpadu (integrated), interdisipliner, multidimensional
bahkan cross-diciplinar (Numan Somantri dalam http://staff.uny.ac.id)1).
Karakteristik
ini terlihat dari perkembangan IPS sebagai mata pelajaran di sekolah yang
cakupan materinya semakin meluas. Dinamika cakupan semacam itu dapat dipahami
mengingat semakin kompleks dan rumitnya permasalahan sosial yang memerlukan
kajian secara terintegrasi dari berbagai disiplin ilmu sosial, ilmu pengetahuan
alam, teknologi, humaniora, lingkungan, bahkan sistem kepercayaan. Dengan cara
demikian pula diharapkan pendidikan IPS terhindar dari sifat ketinggalan zaman,
di samping keberadaannya yang diharapkan tetap koheren dengan perkembangan
sosial yang terjadi.
Pusat Kurikulum mendefinisikan Ilmu Pengetahuan
Sosial sebagai integrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial seperti
sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum dan budaya. Ilmu
Pengetahuan Sosial dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang
mewujudkan suatu pendekatan interdisipliner dari aspek dan cabang-cabang
ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum
dan budaya (Pusat Kurikulum, 2006: 5). Sementara itu, dalam Kurikulum 2006,
mata pelajaran IPS disebutkan sebagai salah satu mata pelajaran yang diberikan
mulai dari SD/MI sampai SMP/MTs. Mata pelajaran ini mengkaji seperangkat
peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial.
Pada jenjang SD/MI, mata pelajaran IPS memuat materi Geografi, Sejarah,
Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik disiapkan dan
diarahkan agar mampu menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan
bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai.
Sejalan
dengan pengertian umum tersebut, IPS sebagai mata pelajaran di tingkat sekolah
dasar pada hakikatnya merupakan suatu integrasi utuh dari disiplin ilmu-ilmu
sosial dan disiplin ilmu lain yang relevan untuk merealisasikan tujuan
pendidikan di tingkat persekolahan. Implikasinya, berbagai tradisi dalam ilmu
sosial termasuk konsep, struktur, cara kerja ilmuwan sosial, aspek metode,
maupun aspek nilai yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial, dikemas secara
psikologis, pedagogis, dan sosial budaya untuk kepentingan pendidikan. Berdasarkan
perspektif di atas, secara umum IPS dapat dimaknai sebagai seleksi dari
struktur disiplin akademik ilmu-ilmu sosial yang diorganisasikan dan disajikan
secara ilmiah dan psikologis untuk mewujudkan tujuan pendidikan dalam kerangka
pencapaian tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila (Numan
Somantri, 2001: 103). Pengertian umum ini mengimplikasikan adanya
penyederhanaan, adaptasi, seleksi, dan modifikasi dari berbagai disiplin
akademis ilmu-ilmu sosial. Kaidah-kaidah akademis, pedagogis, dan psikologis
tidak bisa ditinggalkan dalam upaya pengorganisasian dan penyajian upaya
tersebut. Dengan cara demikian, pendidikan IPS diharapkan tidak kehilangan
berbagai fungsi yang diembannya, apalagi jika dikaitkan secara langsung dengan
pencapaian tujuan institusional pendidikan dasar dan menengah dalam kerangka
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Setiap manusia sejak lahir telah berinteraksi
dengan manusia lain, misalnya dengan ibu yang melahirkannya, ayahnya, dan
keluarganya. Selanjutnya setelah usia taman Kanak-kanak ia akan berinteraksi
dengan teman-teman sekelasnya, dan dengan gurunya. Sesuai dengan bertambahnya
umur, maka interaksi tersebut akan bertambah luas, begitu juga ia akan mendapat
pengalaman dan hubungan sosial dari kehidupan masyarakat disekitarnya. Dari
pengalaman tersebut anak akan mengenal bagaimana seluk beluk kehidupan.
Misalnya bagaimana cara seseorang memenuhi kebutuhan hidupnya, cara menghormati
orang yang lebih tua, sebagai anggota masyarakat harus mentaati aturan atau
norma-norma yang berlaku, mengenal hal-hal yang baik dan buruk, maupun benar
dan salah.
Semua pengetahuan yang telah melekat pada diri
anak tersebut dapat dikatakan sebagai “pengetahuan sosial” Dengan demikian
dalam diri kita masing-masing dengan kadar yang berbeda, sebenarnya telah
terbina pengetahuan sosial tersebut sejak kecil, hanya namanya belum kita kenal
dan dikenal setelah secara formal memasuki bangku sekolah.
b. Paradigma Pendidikan
IPS di Indonesia
Pemikiran
mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran
“social studies” di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang memiliki
pengalaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam bidang itu.
Reputasi tersebut tampak dalam perkembangan pemikiran mengenai bidang itu
seperti dapat disimak dari berbagai karya akademis yang antara lain
dipublikasikan oleh National Council for the Social Studies (NCSS).
Untuk
menelusuri perkembangan pemikiran atau konsep pendidikan IPS di Indonesia
secara historis epistemologis terasa sangat susah karena dua alasan. Pertama,
di Indonesia belum ada lembaga professional bidang pendidikan IPS setua dan
sekuat pengaruh NCSS atau SSEC. Lembaga serupa yang dimiliki Indonesia, yakni
HISPIPSI (Himpunan Sarjana pendidikan IPS Indonesia) usianya masih sangat muda
dan produktivitas akademisnya masih belum optimal, karena masih terbatas pada
pertemuan tahunan dan komunikasi antar anggota masih insidental. Kedua,
perkembangan kurikulum dan pembelajaran IPS sebagai ontologi ilmu pendidikan
(disiplin) IPS sampai saat ini sangat tergantung pada pemikiran individual dan
atau kelompok pakar yang ditugasi secara insidental untuk mengembangkan
perangkat kurikulum IPS melalui Pusat pengembangan Kurikulum dan Sarana
Pendidikan Balitbang Dikbud (Puskur). Pengaruh akademis dari komunitas ilmiah bidang
ini terhadap pengembangan IPS tersebut sangatlah terbatas, sebatas yang
tersalur melalui anggotanya yang kebetulan dilibatkan dalam berbagai kegiatan
tersebut. Jadi, sangat jauh berbeda dengan peranan dan kontribusi Social
Studies Curriculum Task Force-nya NCSS, atau SSEC di Amerika Serikat.
Oleh
karena itu, perkembangan pemikiran mengenai pendidikan IPS di Indonesia akan
ditelusuri dari alur perubahan kurikulum IPS dalam dunia persekolahan,
dikaitkan dengan beberapa konten pertemuan ilmiah dan penelitian yang relevan
dalam bidang itu.
Istilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), sejauh yang dapat ditelusuri, untuk pertama kalinya muncul dalam Seminar Nasional tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo. Menurut Laporan Seminar tersebut ada tiga istilah yang muncul dan digunakan secara bertukar pakai yakni “pengetahuan social, studi social, dan Ilmu Pengetahuan Sosial” yang diartikan sebagai suatu studi masalah-masalah social yang dipilih dan dikembangkan dengan menggunakan pendekatan interdisipliner dan bertujuan agar masalah-masalah social itu dapat dipahami siswa. Dengan demikian, para siswa akan dapat menghadapi dan memecahkan masalah sosila sehari-hari. Pada saat itu, konsep IPS tersebut belum masuk ke dalam kurikulum sekolah, tetapi baru dalam wacana akademis yang muncul dalam seminar tersebut. Kemunculan istilah tersebut bersamaan dengan munculnya istilah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dalam wacana akademis pendidikan Sains. Pengertian IPS yang disepakati dalam seminar tersebut dapat dianggap sebagai pilar pertama dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS. Berbeda dengan pemunculan pengertian social studies dari Edgar Bruce Wesley yang segera dapat respon akademis secara meluas dan melahirkan kontroversi akademik, pemunsulan pengertian IPS dengan mudah dapat diterima dengan sedikit komentar. Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan pada tahun 1972-1973, yakni dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Hal ini terjadi karena, barangkali kebetulan beberapa pakar yang menjadi pemikir dalam Seminar Civic Education di Tawangmangu itu, seperti Achmad Sanusi, Noeman Soemantri, Achmad Kosasih Djahiri, dan Dedih Suwardi berasal dari IKIP Bandung, dan pada pengembangan Kurikulum PPSP FKIP Bandung berperan sebagai anggota tim pemnegmbang kurikulum tersebut. Dalam Kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan istilah “Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial” sebagai mata pelajaran social terpadu. Penggunaan garis miring nampaknya mengisyaratkan adanya pengaruh dari konsep pengajaran social yang awalaupun tidak diberi label IPS, telah diadopsi dalam Kurikulum SD tahun 1968. Dalam Kurikulum tersebut digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, dan Civics yang diartikan sebagai Pengetahuan Kewargaan Negara. Oleh karena itu, dalam kurikulum SD PPSP tersebut, konsep IPS diartikan sama dengan Pendidikan Kewargaan Negara. Penggunaan istilah Studi Sosial nampaknya dipengaruhi oelh pemikiran atau penafsiran Achmad Sanusi yang pada tahun 1972 menerbitkan sebuah manuskrip berjudul “Studi Sosial:
Istilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), sejauh yang dapat ditelusuri, untuk pertama kalinya muncul dalam Seminar Nasional tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo. Menurut Laporan Seminar tersebut ada tiga istilah yang muncul dan digunakan secara bertukar pakai yakni “pengetahuan social, studi social, dan Ilmu Pengetahuan Sosial” yang diartikan sebagai suatu studi masalah-masalah social yang dipilih dan dikembangkan dengan menggunakan pendekatan interdisipliner dan bertujuan agar masalah-masalah social itu dapat dipahami siswa. Dengan demikian, para siswa akan dapat menghadapi dan memecahkan masalah sosila sehari-hari. Pada saat itu, konsep IPS tersebut belum masuk ke dalam kurikulum sekolah, tetapi baru dalam wacana akademis yang muncul dalam seminar tersebut. Kemunculan istilah tersebut bersamaan dengan munculnya istilah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dalam wacana akademis pendidikan Sains. Pengertian IPS yang disepakati dalam seminar tersebut dapat dianggap sebagai pilar pertama dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS. Berbeda dengan pemunculan pengertian social studies dari Edgar Bruce Wesley yang segera dapat respon akademis secara meluas dan melahirkan kontroversi akademik, pemunsulan pengertian IPS dengan mudah dapat diterima dengan sedikit komentar. Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan pada tahun 1972-1973, yakni dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Hal ini terjadi karena, barangkali kebetulan beberapa pakar yang menjadi pemikir dalam Seminar Civic Education di Tawangmangu itu, seperti Achmad Sanusi, Noeman Soemantri, Achmad Kosasih Djahiri, dan Dedih Suwardi berasal dari IKIP Bandung, dan pada pengembangan Kurikulum PPSP FKIP Bandung berperan sebagai anggota tim pemnegmbang kurikulum tersebut. Dalam Kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan istilah “Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial” sebagai mata pelajaran social terpadu. Penggunaan garis miring nampaknya mengisyaratkan adanya pengaruh dari konsep pengajaran social yang awalaupun tidak diberi label IPS, telah diadopsi dalam Kurikulum SD tahun 1968. Dalam Kurikulum tersebut digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, dan Civics yang diartikan sebagai Pengetahuan Kewargaan Negara. Oleh karena itu, dalam kurikulum SD PPSP tersebut, konsep IPS diartikan sama dengan Pendidikan Kewargaan Negara. Penggunaan istilah Studi Sosial nampaknya dipengaruhi oelh pemikiran atau penafsiran Achmad Sanusi yang pada tahun 1972 menerbitkan sebuah manuskrip berjudul “Studi Sosial:
Sedangkan
dalam Kurikulum Sekolah Menengah 4 tahun, digunakan tiga istilah yakni:
1. Studi Sosial sebagai
mata pelajaran inti untuk semua siswa dan sebagai bendera untuk kelompok mata
pelajaran social yang terdiri atas geografi, sejarah, dan ekonomi sebagai amat
pelajaran major pada jurusan IPS;
2. Pendidikan Kewargaan
Negara sebagai mata pelajaran inti bagi semua jurusan
3. Civics dan Hukum
sebagai mata pelajaran major pada jurusan IPS.
Kurikulum PPSP tersebut dapat dianggap sebagai pilar kedua dalam
perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS, yakni masuknya kesepakatan
akademis tentang IPS ke dalam kurikulum sekolah. Pada tahap ini, konsep
pendidikan IPS diwujudkan dalam tiga bentuk yakni:
1. Pendidikan IPS
terintegrasi dengan nama Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial
2. Pendidikan IPS
terpisah, dimana istilah IPS hanya digunakan sebagai patung untuk mata
pelajaran geografi, sejarah dan ekonomi.
3. Pendidikan
kewarganegaraan sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus.
Konsep pendidikan IPS tersebut kemudian memberi inspirasi terhadap Kurikulum 1975, yang memang dalam banyak hal mengadopsi inovasi yang dicoba melalui Kurikulum PPSP. Di dalam Kurikulum 1975 pendidikan IPS menampilkan empat profil, yakni:
Konsep pendidikan IPS tersebut kemudian memberi inspirasi terhadap Kurikulum 1975, yang memang dalam banyak hal mengadopsi inovasi yang dicoba melalui Kurikulum PPSP. Di dalam Kurikulum 1975 pendidikan IPS menampilkan empat profil, yakni:
1. Pendidikan Moral
Pancasila menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk
pendidikan IPS khusus yang mewadai tradisi citizenship transmission.
2. Pendidikan IPS terpadu
untuk Sekolah Dasar.
3. Pendidikan IPS
terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep payung yang
menaungi mata pelajaran Geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi
4. Pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup
mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan
geografi untuk SPG (Dep. P dan K,1975a; 1975b, 1975c; dan 1976).
Konsep pendidikan IPS
seperti itu tetap dipertahankan dalam kurikulum 1984, yang memang secara
konseptual merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975. Penyempurnaan yang
dilakukan khususnya dalam aktualisasi materi yang disesuaikan dengan
perkembangan baru dalam masing-masing disiplin, seperti masuknya Pedoman
Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) sebagai materi pokok Pendidikan Moral
Pancasila. Sedang konsep pendidikan IPS itu sendiri tidak mengalami perubahan
yng mendasar.
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 2/1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, dalam wacana pendidikan IPS muncul dua bahan kajian
kurikuler pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan. Kemudian ketika
ditetapkannya Kurikulum 1994 mnggantikan kurikulum 1984, kedua bahan tersebut
dilembagakan menjadi satu pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(PPKn). Secara konseptual mata pelajaran ini masih tetap merupakan bidang pendidikan
IPS yang khusus mewadai tradisi citizenship transmission dengan muatan utama
butir-butir nilai Pancasila yang diorganisasikan dengan menggunakan pendekatan
spiral of concept development ala Taba (Taba:1967) dan expanding environment
approach” ala Hanna (Dufty; 1970) dengan bertitik tolak dari masing-masing sila
Pancasila.
Di dalam Kuikulum 1994 mata pelajaran PPKn merupakan pelajaran social khusus yang wajib diikuti oleh semua siswa setiap jenjang pendidikan (SD, SLTP, SMU). Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan dalam: pertama, pendidikan IPS terpadu di SD kelas III s/d kelas VI; kedua, pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup materi geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi dan ketiga, pendidikan IPS terpisah-pisah yang mirip dengan tradisi in social studies taught as social science menurut Barr dan kawan-kawan (1978). Di SMU ini bidang pendidikan IPS terpisah-pisah terdiri atas mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I dan II; Ekonomi dan Geografi di kelas I dan II; Sosiologi di kelas II; Sejarah Budaya di kelas III Program Bahasa; Ekonomi, Sosiologi, Tata Negara, Dan Antropologi di kelas III Program IPS.
Di dalam Kuikulum 1994 mata pelajaran PPKn merupakan pelajaran social khusus yang wajib diikuti oleh semua siswa setiap jenjang pendidikan (SD, SLTP, SMU). Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan dalam: pertama, pendidikan IPS terpadu di SD kelas III s/d kelas VI; kedua, pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup materi geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi dan ketiga, pendidikan IPS terpisah-pisah yang mirip dengan tradisi in social studies taught as social science menurut Barr dan kawan-kawan (1978). Di SMU ini bidang pendidikan IPS terpisah-pisah terdiri atas mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I dan II; Ekonomi dan Geografi di kelas I dan II; Sosiologi di kelas II; Sejarah Budaya di kelas III Program Bahasa; Ekonomi, Sosiologi, Tata Negara, Dan Antropologi di kelas III Program IPS.
Dilihat dari tujuannya, setiap mata pelajaran social memiliki
tujuan yang bervariasi. Mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum
bertujuan untuk”….menanamkan pemahaman tentang perkembangan masyarakat masa
lampau hingga masa kini, menumbuhkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air serta
rasa bangga sebagai warga bangsa Indonesia, dan memperluas wawasan hubungan masyarakat
antar bangsa di dunia” (Depdikbud, 1993: 23-24). Dimensi tujuan tersebut pada
dasarnya mengandung esensi pendidikan kewarganegaraan atau tradisi “citizenship
transmission” (Barr, dan kawan-kawan: 1978). Mata pelajaran Ekonomi bertujuan
untuk memberikan pengetahuan konsep-konsep dan teori sederhana dan
menerapkannya dalam pemecahan masalah-masalah ekonomi yang dihadapinya secara
kritis dan objektif (Depdikbud, 1993:29).
Hal yang juga tampak sejalan terdapat dalam rumusan tujuan mata pelajaran Sejarah Budaya yang menggariskan tujuannya untuk menanamkan pengertian adanya keterkaitan perkembangan budaya masyarakat pada masa lampau, masa kini dan masa mendatang sehingga siswa menyadari dan menghargai hasil dan nilai budaya pada masa lampau dan masa kini (Depdikbud, 1993: 31). Demikian juga dalam tujuan mata pelajaran Antropologi yang dengan tegas diorentasikan pada upaya untuk memberikan pengetahuan mengenai proses terjadinya kebudayaan, pemanfaatan dan perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari; menanamkan kesadaran perlunya menghargai nilai-nilai budaya suatu bangsa, terutama bangsa sendiri, dan pada akhirnya dimaksudkan juga untuk menanamkan kesadaran tentang peranan kebudayaan dalam perkembangan dan pembangunan masyarakat serta dampak perubahan kebudayaan terhadap kehidupan masyarakat (Depdikbud, 1993: 33).
Bila disimak dari perkembangan pemikiran pendidikan IPS yang terwujudkan dalam Kurikulum sampai dengan dasawarsa 1990-an ini pendidikan IPS di Indonesia mempunyai dua konsep pendidikan IPS, yakni: pertama, pendidikan IPS di Indonesia yang diajarkan dalam tradisi “citizenship transmission” dalam bentuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi social science dalam bentuk pendidikan IPS terpisah dari SMU, yang terkonfederasi di SLTP, dan yang terintegrasi di SD.
Hal yang juga tampak sejalan terdapat dalam rumusan tujuan mata pelajaran Sejarah Budaya yang menggariskan tujuannya untuk menanamkan pengertian adanya keterkaitan perkembangan budaya masyarakat pada masa lampau, masa kini dan masa mendatang sehingga siswa menyadari dan menghargai hasil dan nilai budaya pada masa lampau dan masa kini (Depdikbud, 1993: 31). Demikian juga dalam tujuan mata pelajaran Antropologi yang dengan tegas diorentasikan pada upaya untuk memberikan pengetahuan mengenai proses terjadinya kebudayaan, pemanfaatan dan perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari; menanamkan kesadaran perlunya menghargai nilai-nilai budaya suatu bangsa, terutama bangsa sendiri, dan pada akhirnya dimaksudkan juga untuk menanamkan kesadaran tentang peranan kebudayaan dalam perkembangan dan pembangunan masyarakat serta dampak perubahan kebudayaan terhadap kehidupan masyarakat (Depdikbud, 1993: 33).
Bila disimak dari perkembangan pemikiran pendidikan IPS yang terwujudkan dalam Kurikulum sampai dengan dasawarsa 1990-an ini pendidikan IPS di Indonesia mempunyai dua konsep pendidikan IPS, yakni: pertama, pendidikan IPS di Indonesia yang diajarkan dalam tradisi “citizenship transmission” dalam bentuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi social science dalam bentuk pendidikan IPS terpisah dari SMU, yang terkonfederasi di SLTP, dan yang terintegrasi di SD.
c. Tujuan Pembelajaran IPS di Indonesia
IPS sebagai sebuah bidang keilmuwan yang dinamis, karena
mempelajari tentang keadaan masyarakat yang cepat perkembangannya, tidak bisa
terlepas dari perkembangan. Pengembangan kurikulum IPS merupakan jawaban
terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat yang akan mempelajarinya. Perkembangan
IPS di Indonesia dilatar belakangi oleh beberapa hal
1. Pengalaman hidup masa
lampau dengan situasi sosialnya yang labil, memerlukan masa depan yang lebih
mantap dan utuh sebagai suatu bangsa yang bulat.
2. Laju perkembangan
pendidikan, teknologi, dan budaya Indonesia memerlukan kebijakan pendidikan dan
pengajaran yang seirama dengan laju perkembangan tersebut.
3. Agar output pendidikan
persekolahan benar-benar lebih relevan dengan tuntutan masyarakat yang ia akan
menjadi bagiannya dan materi yang dimuat dalam kurikulum atau dipelajari peserta
didik dapat bermanfaat. Segi lain yang menyebabkan dikembangkannya kurikulum
IPS sebagai mata pelajaran wajib bagi setiap anak didik adalah menyiapkan
mereka kelak apabila terjun ke dalam kehidupan masyarakat.
Sejak diberlakukan kurikulum tahun 1964 sampai kurikulum
1968, program pengajaran ilmu-ilmu sosial masih menggunakan cara-cara
(pendekatan) tradisional. Ilmu sosial seperti sejarah, geografi (ilmu bumi) dan
ekonomi masih disajikan secara terpisah. Sejumlah ahli menyadari bahwa
sebenarnya sistem tersebut telah usang dan tidak relevan. Terkait dengan
pengembangan kurikulum IPS, seorang ahli pendidikan, guru besar pada IKIP
Malang, Prof. Dr. Soepartinah Pakasi, dapat dianggap sebagai penganut social
studies yang pertama di Indonesia. Pada tahun 1968 beliau menerapkan pola
pengajaran social studies pada sekolah percobaan IKIP Malang yang dipimpinnya. Dalam
penerapannya, guru-guru social studies di sekolah-sekolah tersebut di samping
diberi pedoman pelatihan keterampilan secara khusus juga didampingi oleh sebuah
regu dosen jurusan sejarah, geografi dan ekonomi. Dalam lingkup nasional,
ide-ide untuk menerapkan pengajaran social studies mulai ramai diperbincangkan
sekitar tahun 1971/1972.
Setiap usaha pendidikan
senantiasa memiliki tujuan tertentu yang hendak dicapai. Berdasarkan tujuan
pendidikan yang jelas, tegas, terarah, barulah pendidik dapat menentukan usaha
apa yang akan dilakukannya dan bahan pelajaran apa yang sebaiknya diberikan
kepada anak didiknya. Demikian juga di dalam negara kita telah dirumuskan
tujuan pendidikan nasional dirumuskan berdasarkan pada falsafah negara
Pancasila dan UUD 1945, seperti digariskan dalam GBHN. Berdasarkan pada
falsafah negara tersebut, maka telah dirumuskan tujuan pendidikan nasional
menurut Undang-undang Nomer 20 Tahun 2003 adalah untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab sesuai ketentuan yang
termaksud dalam UUD 1945.
Berkaitaan dengan hal
tersebut, kurikulum 2013 untuk tingkat SD menyatakan bahwa, Pengetahuan Sosial
(sebutan IPS dalam kurikulum 2013), bertujuan untuk :
1. Mengajarkan konsep-konsep dasar sosiologi, geografi, ekonomi,
sejarah, dan kewarganegaraan, pedagogis, dan psikologis.
2. Mengembangkan kemampuan
berpikir kritis dan kreatif, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan
sosial
3. Membangun komitmen dan kesadaran terhadap
nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
4. Meningkatkan kemampuan bekerja sama dan
berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, baik secara nasional maupun global.
Ada 5
macam sumber materi IPS antara lain:
a. Segala sesuatu atau apa
saja yang ada dan terjadi di sekitar anak sejak dari keluarga, sekolah, desa,
kecamatan sampai lingkungan yang luas negara dan dunia dengan berbagai
permasalahannya.
b. Kegiatan manusia
misalnya: mata pencaharian, pendidikan, keagamaan, produksi, komunikasi,
transportasi.
c. Lingkungan geografi dan
budaya meliputi segala aspek geografi dan antropologi yang terdapat sejak dari
lingkungan anak yang terdekat sampai yang terjauh.
d. Kehidupan masa lampau, perkembangan kehidupan
manusia, sejarah yang dimulai dari sejarah lingkungan terdekat sampai yang
terjauh, tentang tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian yang besar.
e. Anak
sebagai sumber materi meliputi berbagai segi, dari makanan, pakaian, permainan,
keluarga.
Dengan demikian masyarakat dan lingkungannya, selain menjadi
sumber materi IPS sekaligus juga menjadi laboratoriumnya. Pengetahuan konsep,
teori-teori IPS yang diperoleh anak di dalam kelas dapat dicocokkan dan
dicobakan sekaligus diterapkan dalam kehidupannya sehari-hari di masyarakat.
Pembahasan tentang pendidikan IPS tidak bisa terlepas dari
interaksi fungsional perkembangan masyarakat Indonesia dengan sistem dan
praksis pendidikannya. Yang dimaksud dengan interaksi fungsional di sini adalah
bagaimana perkembangan masyarakat mengimplikasi terhadap tubuh pengetahuan IPS,
dan sebaliknya bagaimana tubuh pengetahuan pendidikan IPS turut memfasilitasi
pengembangan aktor sosial dan warga negara yang cerdas dan baik, yang pada
gilirannya dapat memberikan konstribusi yang bermakna terhadap perkembangan
masyarakat Indonesia. Dalam mengkaji perubahan dalam masyarakat, perlu diawali
dengan postulat yang telah diterima secara umum, bahwa dalam kehidupan ini
perubahan merupakan suatu keniscayaan karena tidak ada yang tetap kecuali
perubahan. Untuk memahami semua gejala krisis dalam konteks kehidupan global
yang sistemik diperlukan cara pandang yang utuh dan menyeluruh yang oleh Capra
dalam dalam Udin S. Winataputra3) disebut sebagai cara memandang situasi
“…dalam konteks evolusi budaya manusia”. Dengan merujuk pada teori perubahan
“tantangan dan tanggapan” (challenge and response) dari Toynbee, yang pada
dasarnya meneorikan “Tantangan dari lingkungan alam dan sosial memancing
tanggapan kreatif dari suatu masyarakat, atau kelompok sosial, yang mendorong
masyarakat itu untuk memasuki proses peradaban, Capra dalam Udin S.
Winataputra3) mengemukakan adanya “Irama berulang dalam pertumbuhan budaya”,
yang pada dasarnya merupakan siklus interaktif antara dua kekuatan yang saling
mempengaruhi.
Kondisi internal masyarakat, bangsa dan negara Indonesia,
seperti dianalisis oleh Soedijarto (1999) teridentifikasi adanya berbagai
faktor yang diperkirakan mempengaruhi kondisi kehidupan bangsa Indonesia sejak
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai dengan saat ini.
III. SIMPULAN DAN SARAN
a. Simpulan
Berdasarkan
uraian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Mata pelajaran IPS
memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi serta Mata Pelajaran
Sosial lainnya berfungsi untuk menyiapkan peserta didik agar mampu menjadi
warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga
dunia yang cinta damai.
2. Pendidikan IPS yang terwujudkan dalam Kurikulum sampai dengan
dasawarsa 1990-an mempunyai dua konsep pendidikan IPS, yakni: pertama,
pendidikan IPS di Indonesia yang diajarkan dalam tradisi “citizenship transmission”
dalam bentuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan
Sejarah Nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi social
science dalam bentuk pendidikan IPS terpisah dari SMU, yang terkonfederasi di
SLTP, dan yang terintegrasi di SD.
3. Pendidikan IPS tidak bisa terlepas dari interaksi fungsional
perkembangan masyarakat Indonesia dengan sistem dan praksis pendidikannya. Yang
dimaksud dengan interaksi fungsional di sini adalah bagaimana perkembangan
masyarakat mengimplikasi terhadap tubuh pengetahuan IPS, dan sebaliknya
bagaimana tubuh pengetahuan pendidikan IPS turut memfasilitasi pengembangan
aktor sosial dan warga negara yang cerdas dan baik, yang pada gilirannya dapat
memberikan konstribusi yang bermakna terhadap perkembangan masyarakat
Indonesia.
b. Saran
Makalah
ini sangatlah jauh dari sempurna dan oleh karena itu sangat perlu untuk
disempurnakan lagi agar menjadi sebuah karya tulis yang benar-benar bermutu dan
bermanfaat lebih jauh bagi pembaca yang memerlukan tambahan materi utamanya
para guru di tingkat Sekolah Dasar.
Oleh:
I Made Susantha Harimbawa, A.Md., S.Pd
Mahasiswa STAHN Mpu Kuturan Singaraja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar