Selasa, 20 Juni 2017

Model Belajar Discovery Learning

Model Discovery Learning adalah didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri. Sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be defined as the learning that takes place when the student is not presented with subject matter in the final form, but rather is required to organize it him self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103). Ide dasar Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas.
Model Discovery Learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Budiningsih, 2005:43). Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery itu sendiri adalah the mental process of assimilatig conceps and principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik, 2001:219).
Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry). Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada kedua istilah ini, pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery masalah yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru, sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu melalui proses penelitian.

Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses belajar perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning Environment, yaitu lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui. Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih kreatif. Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan apa yang dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya. 

Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic. Tahap enaktive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya. 

Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Secara sederhana teori perkembangan dalam fase enactive, iconic dan symbolic adalah anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan atau kebelakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada fase iconic ia menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagan dan akhirnya ia menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase symbolic (Syaodih, 85:2001).

Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning guru berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145). Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student oriented. Dalam metode Discovery Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan.

Berdasarkan fakta dan hasil pengamatan, penerapan pendekatan Discovery Learning dalam pembelajaran memiliki kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan, antara lain : 

  • Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara belajarnya.
  • Pengetahuan yang diperoleh melalui model ini sangat pribadi dan ampuh karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
  • Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan berhasil.
  • Model ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan kecepatannyasendiri.
  • Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
  • Membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
  • Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan gagasan-gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.
  • Membantu siswa menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena mengarah padakebenaran yang final dan tertentu atau pasti.
  • Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.
  • Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi proses belajar yang baru.
  • Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.
  • Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.
  • Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik.
  • Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang.
  • Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia seutuhnya.
  • Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa.
  • Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar.
  • Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu.
  • Menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau berpikir atau mengungkapkan hubungan antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan frustasi.
  • Tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karena membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan masalah lainnya.
  • Harapan-harapan yang terkandung dalam model ini dapat buyar berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama.
  • Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman, sedangkan mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang mendapat perhatian.
  • Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur gagasan yang dikemukakan oleh para siswa
  • Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berpikir yang akan ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.

Menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan Discovery Learning di kelas,ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum antara lain sebagai berikut :
Pertama-tama pada tahap ini siswa dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan tanda tanya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Di samping itu guru dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. 

Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah) (Syah 2004:244). Permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni pernyataan sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan.
Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah. 

Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis.
Dengan demikian siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.

Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002:22). Data processing disebut juga dengan pengkodean/kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis.

Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.
Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.

Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan siswa harus memperhatikan proses generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.

Dalam Model Pembelajaran Discovery Learning, penilaian dapat dilakukan dengan menggunakan tes maupun nontes, sedangkan penilaian yang digunakan dapat berupa penilaian kognitif, proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa. Jika bentuk penilaiannya berupa penilaian kognitif, maka dapat menggunakan tes tertulis. Jika bentuk penilaiannya menggunakan penilaian proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa dapat menggunakan nontes.

Selasa, 13 Juni 2017

DinamikaPengembangan Kurikulum SMK



PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Profil manusia Indonesia yang ingin dihasilkan melalui jenjang pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen), dijabarkan dalam bentuk Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang pada awalnya dimuat dalam Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, kemudian diubah menjadi Permendikbud Nomor 54 Tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah, dan diubah terakhir menjadi Permendikbud Nomor 20 Tahun 2016. Namun Lampiran Permendikbud Nomor 20 Tahun 2016 tersebut tidak memuat SKL untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), sementara proses pendidikan di SMK/MAK terus berlangsung. Oleh karena itu, unit kerja terkait –dalam hal ini Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan Direktorat Pembinaan SMK--memandang perlu segera menyusun SKL untuk SMK/MAK, agar dapat digunakan sebagai pegangan dalam proses selanjutnya. Perumusan SKL merupakan tahap awal dalam penyusunan kurikulum, yang selanjutnya perlu diikuti dengan penyusunan Standar Isi (SI), Standar Proses (SP), dan Standar Penilaian Pendidikan (SPP). Proses penyusunan standar-standar tersebut secara prosedural telah selesai dilaksanakan, dan saat ini telah diajukan untuk ditetapkan menjadi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Pasal 18 ayat (3) menegaskan bahwa “Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. Pada penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 15 dikemukakan bahwa “Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu”. Lebih lanjut, pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 26 ayat (3) dikemukakan bahwa “Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya”.
Bekerja pada bidang tertentu sebagaimana dimaksud UU Sisdiknas di atas tentu sesuai dengan jenis-jenis bidang pekerjaan yang tersedia di lapangan kerja, baik bekerja mandiri atau berwirausaha maupun bekerja pada pihak lain. Karena itulah, penerapan prinsip diversifikasi dalam pengembangan Kurikulum SMK diwujudkan dengan keharusan mengacupada jenis-jenis bidang pekerjaan atau keahlian yang berkembang dan kecenderungan dibutuhkan di dunia kerja dan dunia industri (DU-DI). Jenis-jenis bidang pekerjaan atau keahlian itulah yang kemudian di lingkungan pendidikan menengah kejuruan dikenal dengan sebutan Spektrum Keahlian Pendidikan Menengah Kejuruan (Spektrum Keahlian PMK). Luas dan percepatan perkembanganbidang-bidang pekerjaan yang ada di DU-DI serta berkembangnya tuntutan kebutuhan pembangunan wilayah/daerah dalam kaitannya dengan perencanaan dan pengembangan ketenagakerjaan untuk memacu pertumbuhan pembangunan di segala bidang, senantiasa memerlukan pemetaan ulang Spektrum Keahlian PMK.
Dalam rangka menyesuaikan kurikulum dengan karakteristik satuan pendidikan SMK, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) yang kemudian diubah menjadi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 60 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013SMK/MAK, pada lampiran 1a terkait dengan Struktur Kurikulum SMK/MAK antara lain ditegaskan bahwa dalam penetapan penjurusan sesuai dengan bidang/program/paket keahlian mempertimbangkan Spektrum Keahlian Pendidikan Menengah Kejuruan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Berdasarkan Permendikbud Nomor 70 Tahun 2013 tersebut, maka diterbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 7013/D/KP/2013 tentang Spektrum Keahlian Pendidikan Menengah Kejuruan. Pada keputusan tersebut ditegaskan bahwa “Spektrum Keahlian sebagaimana dimaksud merupakan acuan dalam pembukaan dan penyelenggaraan bidang/program/paket keahlian pada SMK/MAK”.
Spektrum tersebut yang menjadi satu-satunya acuan dalam pengembangan dan penyelenggaraan jenis-jenis program pendidikan pada satuan pendidikan menengah kejuruan (SMK/MAK), ternyata ada perubahan pengorganisasian program pendidikan pada SMK/MAK sebagaimana terkandung dalam Permendikbud Nomor 70 Tahun 2013, sehingga harus dikeluarkan Keputusan Dirjen Dikmen tentang Spektrum Keahlian PMK seiring dengan lahirnya Kurikulum 2013 SMK. Secara logis-legalitas, dengan lahirnya Permendikbud Nomor 60 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 SMK/MAK menggantikan Permendikbud Nomor 70 Tahun 2013, maka Spektrum PMK yang merupakan peraturan turunannya harus juga disesuaikan.
Di sisi lain terdapat surat Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Nomor B.14/MENKO/PMK/I/2015 tanggal 27 Januari 2015 perihal Hasil Rakor Tingkat Menteri tentang Link and Match Pendidikan Kejuruan dengan Pembangunan Ekonomi, yang di antara sekian banyak kesepakatannya untuk ditindaklanjuti adalah: (1) Melakukan review terhadap Spektrum Keahlian Pendidikan Menengah Kejuruan dan Politeknik dan (2) Melakukan Penataan Program Keahlian di SMK melalui Program Reengineering.
Dua kenyataan di atas menjadi alasan bagi Direktorat Pembinaan SMK untuk segera melakukan penataan ulang Spektrum Keahlian PMK yang ada, agar lebih memenuhi tuntutan kebutuhan dunia kerja, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Penataan spektrum iniharus terus-menerus memperhatikan dan mengantisipasi perkembangan yang terjadi dalam proses penyusunan standar PMK, khususnya penyusunan SKL dan SI yang isinya harus menjadi dasar dan acuan dalam penyusunan Spektrum Keahlian PMK yang meliputi penataan jenis-jenis program pendidikan, penataan struktur kurikulum, dan penataan kompetensi dasar PMK.
B.   Tujuan
Penataan ulang Spektrum Keahlian, Struktur Kurikulum, dan Kompetensi Dasar PMK bertujuan untuk:
1.    Menata kembali berbagai ketentuan dan aturan yang terkait dan terkandung pada Spektrum Keahlian PMK dan Kompetensi Dasar Kejuruan pada SMK/MAK, sehingga aturan-aturan tersebut jelas hirarchinya, selaras satu sama lain, dan tidak berpotensi menimbulkan konflik pada implementasinya.
2.    Merumuskan dan menata kembali Spektrum Keahlian PMK dalam bentuk Kompetensi Keahlian yang relatif memiliki kesetaraan dan mengakomodasi kebutuhan dunia kerja, kemudian dikelompokkan dalam Program Keahlian dan Bidang Keahlian secara homogin.
3.    Merumuskan dan menata kembali Struktur Kurikulum masing-masing Kompetensi Keahlian yang dapat mengakomodasi kebutuhan dunia kerja terkait, kebutuhan peserta didik, dan memenuhi ketentuan Standar Pendidikan Nasional.
4.    Merumuskan dan menata kembali KI-KD untuk setiap Kompetensi Keahlian yang telah ditetapkan pada spektrum dengan mempertimbangkan keluasan dan kedalaman yang implementable, dibedakan atas Dasar Bidang Keahlian, Dasar Program Keahlian, dan Kompetensi Keahlian, serta memenuhi kaidah-kaidah penulisannya.
5.    Mengelompokkan (clustering) KI-KD muatan peminatan kejuruan menjadi mata pelajaran kelompokdasar kejuruan, dasar keahlian, dan kompetensi keahlian yang mengacu pada skema uji dan sertifikasi kompetensi.
C.   Ruang LingkupPedoman
Ruang lingkup pedoman ini berisi pedoman tentang penataan ulang Spektrum Keahlian PMK, Struktur Kurikulum,dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Pendidikan Menengah Kejuruan.
D.   Hasil yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dari kegiatan Penataan Spektrum Keahlian, Struktur Kurikulum, dan Kompetensi Dasar (KD)Pendidikan Menengah Kejuruan ini adalah:
1.    Tertatanya Spektrum Keahlian PMK dalam bentuk Kompetensi Keahlian yang memiliki kesetaraan satu sama lain, untuk mengakomodasi kebutuhan dunia kerja, dikelompokkan dalam Program Keahlian dan Bidang Keahlian, serta memenuhi ketentuan Standar Nasional Pendidikan.
2.    Tertatanya Struktur Kurikulum masing-masing Kompetensi Keahlian yang mengakomodasi kebutuhan dunia kerja terkait, kebutuhan peserta didik, serta memenuhi ketentuan Standar Nasional Pendidikan.
3.    Tertatanya KI-KD untuk setiap Kompetensi Keahlian yang telah ditetapkan, memiliki keluasan dan kedalaman yang implementable, dibedakan atas DasarKejuruan, Dasar Program Keahlian dan Kompetensi Keahlian, serta memenuhi kaidah-kaidah penulisan.
4.    Terumuskannya mata pelajaran kelompokmuatan Nasional,muatan Kewilayahan, muatan Dasar Kejuruan,muatan Dasar Keahlian, dan muatan Kompetensi Keahlian untuk setiap Bidang Keahlian, Program Keahlian, dan Kompetensi Keahlian.





BAB II
KONSEP PENATAAN SPEKTRUM KEAHLIAN PMK

A.   Pengertian
Spektrum Keahlian PMK adalah jenis-jenis program pendidikan serta rambu-rambu penyelenggaraan program pendidikan pada SMK/MAK, sebagai acuan dalam membuka dan mengembangkan program pendidikannya.
Jenis-jenis program pendidikan pada Spektrum Keahlian diorganisasikan dalam bentuk bidang keahlian, program keahlian, dan kompetensi keahlian, dilengkapi dengan struktur kurikulum serta ruang lingkup kompetensi untuk masing-masing kompetensi keahlian.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Pasal 80 ayat (3) bahwa satuan program pendidikan di SMK/MAK disebut Kompetensi Keahlian, makadalam penataan spektrumini istilah Paket Keahlian yang digunakan untuk menyebut satuan program pendidikan pada Spektrum Keahlian PMK sebelumnya, diubah menjadi Kompetensi Keahlian.
B.   Fungsi
Spektrum Keahlian PMK berfungsi sebagai dasar pengembangan program peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing lulusan pendidikan menengah kejuruan (SMK/MAK) baik dalam lingkup nasional, regional maupun internasional. Sedangkan fungsi Spektrum Keahlian PMK dalam konteks penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan pada SMK/MAK antara lain sebagai berikut.
1.    Memberikan acuan dalam pengembangan dan penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan pada SMK/MAK, khususnya dalam pembukaan dan penyelenggaraan bidang/program/kompetensi keahlian;
2.    Memberikan acuan dalam pengembangan kurikulum, pembelajaran, dan penilaian pendidikan dan pelatihan pada tingkat satuan pendidikan SMK/MAK;
3.    Menjadi acuan dalam menentukan tingkat efektivitas dan relevansi pendidikan dan pelatihan pada SMK/MAK, dan
4.    Menjadi acuan untuk pelaksanaan penilaian dan akreditasi SMK/MAK.



C.   Hakikat Spektrum Keahlian PMK
Spektrum Keahlian PMK pada hakikatnya merupakan wahana untuk mengakomodasi kebutuhan dunia kerja secara kontekstual dengan potensi lingkungan, diorganisasikan dalam bentuk Bidang Keahlian, Program Keahlian, dan Kompetensi Keahlian.
1.    Bidang Keahlian merupakan kumpulan program keahlian yang memiliki kesamaan karakteristikdan memerlukan dasar bidang kajian yang sama.
2.    Program Keahlian merupakan kumpulankompetensi keahlian yang memilikikarakteristik dasar-dasar keahlian/pekerjaan/tugas yang sama.
3.    Kompetensi Keahlian adalah satuan program pendidikan dan pelatihan yang didasarkan atas tugas-tugas pada jabatan/pekerjaan tertentu, dengan durasi pendidikan dan pelatihan satuan pendidikan menengah 3 atau 4 tahun.Pada suatu Kompetensi Keahlian yang dibuka, SMK/MAK dapat mengkhususkan kompetensi tertentu sesuai dengan tuntutan kebutuhan dunia kerja terkait (konsentrasi keahlian) dengan tidak mengabaikan kemampuan dasar keahlian yang bersangkutan.
Kompetensi Keahlian sebagai satuan program pendidikan pada SMK/MAK harus memenuhi kriteria sebagai berikut.
a.    Kompetensi keahlian merupakan program pendidikan kejuruan yang mampu membentuk lulusan menguasai suatu jenis jabatan profesi keahlian formal yang berjenjang, agar pengalaman belajar atau skill yang diperoleh peserta didik lebih bermakna bagi dirinya untuk hidup mandiri atau melanjutkan ke pendidikan vokasional yang lebih tinggi. Oleh karena itu, lapangan kerja lulusan setiap kompetensi keahlian harus terdeskripsikan secara jelas dan spesifik.
b.    Setiap satuan program pendidikan (kompetensi keahlian) dilengkapi dengan ruang lingkup kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi yang digunakan di dunia kerja; standar-standar kompetensi kerja yang berlaku secara Nasional, Regional, maupun Internasional seperti Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), standar industri tertentu, standar asosiasi atau komunitas tertentu yang diakui keberadaannya. Ruang lingkup kompetensi tersebut kemudian dikemas dengan memperhatikan rambu-rambu Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).
c.     Suatu program pendidikan dinyatakan layak sebagai sebuah kompetensi keahlian, apabila untuk menguasainya (khusus kejuruannya) memerlukan waktu minimal tatap muka terstruktur 2856jam pelajaran @ 45 menit untuk program pendidikan 3 tahun atau 4284jam pelajaran @ 45 menituntuk program pendidikan 4 tahun dengan kompetensi-kompetensi yangutuh dan komprehensif meliputi dasar bidang, dasar program, dan kompetensi keahlian.
d.    Perbedaan muatan kompetensi satu satuan program pendidikan (Kompetensi Keahlian)dengan Kompetensi Keahlian yang lainnya dalam satu Program Keahlian minimal 35 %, dilihat dari bobot beban belajar peserta didik.
e.    Mempertimbangkan tahapan perkembangan peserta didik secara fisik dan psikologis.
Pengertian Spektrum Keahlian PMK diperluas sebagaimana yang dimaksud dalam program pengembangan Kurikulum SMK yang dirancang oleh Direktorat Pembinaan SMK, yaitu tidak semata-mata mengenai daftar jenis-jenis program pendidikan pada SMK tetapi meliputi daftar Kompetensi Keahlian, Struktur Kurikulum masing-masing Kompetensi Keahlian, dan KI-KD seluruh Mata Pelajaranuntuk setiap Kompetensi Keahlian pada SMK. Bahkan, akan sangat bagus jika dilengkapi dengan “Deskripsi Singkat” untuk masing-masing Kompetensi Keahlian.





BAB III
KONDISI SEKARANG

A.   Spektrum Keahlian PMK
1.    Jenis-jenisprogram pendidikan yang dikembangkan pada SMK/MAK (disebut spektrum keahlian) pada dasarnya merupakan keahlian-keahlian atau jabatan-jabatan pekerjaan (occupation) yang ada dan berkembang di dunia kerja.
2.    Suatu keahlian atau jabatan pekerjaan yang ada dapat berupa hasil pemfusian dari sejumlah disiplin keilmuan.
3.    Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Menengah Kementerian Dikbud Nomor 7013/D/KP/2013, Spektrum Keahlian PMK terdiri atas 9 (sembilan) Bidang Keahlian, 46 Program Keahlian, dan 128 Paket Keahlian sebagaimana dapat ditelaah pada Tabel 1 berikut (daftar selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1). Pada spektrum ini nama satuan program pendidikan disebut Paket Keahlian, selanjutnya dalam perubahan spektrum yang dirancangkan diubah menjadi Kompetensi Keahlian.

Tabel 1
REKAPITULASI BIDANG/PROGRAM/PAKETKEAHLIAN
PENDIDIKAN MENENGAH KEJURUAN 2013
BIDANG KEAHLIAN
PROGRAM KEAHLIAN
PAKET KEAHLIAN
1.  Teknologi dan Rekayasa
18
62
2.  Teknik Informasi dan Komunikasi
3
7
3.  Kesehatan
2
6
4.  Agribisnis dan Agroteknologi
6
16
5.  Perikanan dan Kelautan
3
8
6.  Bisnis dan Manajemen
3
5
7.  Pariwisata
4
7
8.  Seni Rupa dan Kriya
2
10
9.  Seni Pertunjukan
5
7
JUMLAH
46
128
Rincian Program/Paket Keahlian selengkapnya, lihat Lampiran 1.
Spektrum Keahlian tersebut merupakan acuan bagi sekolah (SMK/MAK) untuk membuka dan mengembangkan program pendidikan. Sekolah hanya boleh membuka atau menyelenggarakan program pendidikan sesuai dengan spektrum keahlian yang berlaku.
4.    Beberapa nama Program/Paket Keahlian dan pengelompokannya masih ada yang perlu dikaji kembali dan disesuaikan, misalnya:
a.    Pengelompokan beberapa Paket Keahlian yang hanya mempertimbangkan kesamaan bidang/lapangan pekerjaan, tetapi secara keahlian dan keilmuan tidak saling berhubungan, misalnya pada Program Keahlian Kesehatan yang mewadahi Keperawatan, Keperawatan Gigi, Analisis Kesehatan, Farmasi dan Farmasi Industri; sulit sekali mencari kesamaan Dasar Keahlian/Keilmuan yang sama antara keperawatan dan kefarmasian.
b.    Pengelompokan Program Keahlian yang tidak setara contohnya pada Program Keahlian Kesehatan dan Perawatan Sosial pada Bidang Keahlian Kesehatan, sehingga sulit merumuskan tuntutan kompetensi yang sama pada tingkat bidang keahlian.
a.    Adanya peraturan perundangan baru sehingga perlu penyesuaian terhadap Paket Keahlian pada Bidang Keahlian Kesehatan.
c.     Bidang Keahlian Perikanan dan Kelautan yang mewadahi Program Keahlian Teknologi Penangkapan Ikan, Program Keahlian Teknik dan Produksi Perikanan Budidaya, dan Program Keahlian Pelayaran tampak kurang homogin.
d.    Demikian pula nama Program Keahlian Teknologi Penangkapan Ikan yang mewadahi Paket Keahlian Nautika dan Paket Keahlian Teknika tidak konsisten dengan nama Program Keahlian Pelayaran yang juga mewadahi Paket Keahlian Nautika dan Paket Keahlian Teknika. Sepintas difahami yang membedakan keduanya adalah jenis kapal dan tujuan pelayaran.
5.    Beberapa nama Paket Keahlian dianggap kurang familier di masyarakat umum, kurang marketable dan tidak mudah dikenali. Sekolah merasa kesulitan dalam menawarkan dan memasarkan program keahlian yang dibuka. Contoh Paket Keahlian Teknik Kendaraan Ringan.
6.    Program keahlian yang terlalu spesifik/sempit akan menyulitkan penempatan dan peluang bekerja bagi lulusannya. Contoh Tata Kecantikan Rambut, dan Tata Kecantikan Kulit.
7.    Diperlukan kajian lebih mendalam tentang kelayakan setiap paket keahlian untuk durasi pembelajaran pada pendidikan menengah 3 dan atau 4 tahun.
8.    Masih perlu penggalian program keahlian yang berorientasi pada keunggulan lokal yang belum terwadahi.
9.    Sangat diperlukan ada kajian program keahlian yang memiliki nilai jual internasional sebagai pendukung program sekolah unggulan/rujukan.
10.  Masih perlu pendalaman tentang keterkaitan program/paket keahlian yang dibuka dengan KKNI (terutama kaitannya dengan levelling) dan Standar Kompetensi Kerja yang berlaku dalam rangka skema pengujian dan sertifikasi.
11.  Ruang lingkup kompetensi dan cara merumuskan Kompetensi Dasar untuk kejuruan/keahlian masih sangat bervariasi dan belum terstandar.
B.   Struktur Kurikulum
Struktur Kurikulum SMK/MAK yang berlaku dirancang sebagai kesatuan jenjang pendidikan menengah, dimana SMK/MAK bersama-sama SMA/MA dipandang sebagai satu entitas jenjang pendidikan yang sama; jenjang pendidikan menengah. Pandangan tersebut mengharuskan SMK/MAK dan SMA/MA bersama-sama memiliki standar minimal yang sama sebagai pendidikan menengah.
Atas dasar pertimbangan tersebut, struktur kurikulum pendidikan menengah dirancang mengandung 3 (tiga) komponen program, yaitu:
1.    Kelompok mata pelajaran A; diklasifikasikan sebagai program wajib, ditetapkan dan berlaku sama secara Nasional, baik isi maupun alokasi waktunya.
2.    Kelompok mata pelajaran B; diklasifikasikan sebagai program wajib, ditetapkan secara Nasional tapi Daerah boleh memodifikasi dan menyesuaikannya dengan kebutuhan dan kearifan setempat.
3.    Kelompok mata pelajaran C; merupakan kelompok mata pelajaran pilihan sesuai dengan minat peserta didik.
Tabel 2 berikut adalah struktur kurikulum pendidikan menengah secara generik.





Tabel 2
STRUKTUR KURIKULUM PENDIDIKAN MENENGAH
(GENERIK)
Mata Pelajaran
Kelas
X
XI
XII
Kelompok A (Wajib)
1
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti
3
3
3
2
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
2
2
2
3
Bahasa Indonesia
4
4
4
4
Matematika
4
4
4
5
Sejarah Indonesia
2
2
2
6
Bahasa Inggris
2
2
2
Kelompok B (Wajib)
7
Seni Budaya
2
2
2
8
Pendidikan Jasmani, Olah Raga, dan Kesehatan
3
3
3
9
Prakarya dan Kewirausahaan
2
2
2
Jumlah JP Kelompok A dan B per Minggu
24
24
24
Kelompok C (Peminatan)
Mapel Peminatan Akademik (SMA)
18
20
20
Mapel Peminatan Akademik dan Vokasi (SMK)
24
24
24
Jumlah JP per Minggu (SMA)
42
44
44
Jumlah JP per Minggu (SMK)
48
48
48