Susantha Harimbawa
Senin, 05 Februari 2018
Selasa, 20 Juni 2017
Model Belajar Discovery Learning
Model Discovery Learning
adalah didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila
pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi
diharapkan mengorganisasi sendiri. Sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: “Discovery
Learning can be defined as the learning that takes place when the
student is not presented with subject matter in the final form, but
rather is required to organize it him self” (Lefancois dalam
Emetembun, 1986:103). Ide dasar Bruner ialah pendapat dari Piaget yang
menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas.
Model Discovery Learning
adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif
untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Budiningsih, 2005:43).
Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan
proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery
dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi,
penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitive process
sedangkan discovery itu sendiri adalah the mental process of assimilatig conceps and principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik, 2001:219).
Discovery Learning
mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry). Tidak ada
perbedaan yang prinsipil pada kedua istilah ini, pada Discovery Learning
lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya
tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada
discovery masalah yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang
direkayasa oleh guru, sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil
rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan
keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu
melalui proses penelitian.
Di dalam proses belajar, Bruner
mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik
adanya perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses belajar perlu
lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi.
Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning Environment, yaitu
lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan
baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah
diketahui. Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses
belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih kreatif. Untuk
memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus berdasarkan
pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan
kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk memfasilitasi
kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan apa yang dipahami)
sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Menurut Bruner perkembangan
kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh
bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic. Tahap
enaktive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk
memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia sekitarnya
anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan,
sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang
memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi
verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui
bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap
symbolic, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan
abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan
logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui
simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.
Komunikasinya dilakukan dengan
menggunakan banyak simbol. Semakin matang seseorang dalam proses
berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Secara sederhana teori
perkembangan dalam fase enactive, iconic dan symbolic
adalah anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan
atau kebelakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan
berat temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada fase iconic ia
menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagan dan akhirnya ia
menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase
symbolic (Syaodih, 85:2001).
Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning
guru berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada
siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat
membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan
(Sardiman, 2005:145). Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan belajar
mengajar yang teacher oriented menjadi student oriented. Dalam metode
Discovery Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa
dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi,
membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan,
mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan.
Berdasarkan fakta dan hasil pengamatan, penerapan pendekatan Discovery Learning dalam pembelajaran memiliki kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan, antara lain :
- Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara belajarnya.
- Pengetahuan yang diperoleh melalui model ini sangat pribadi dan ampuh karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
- Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan berhasil.
- Model ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan kecepatannyasendiri.
- Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
- Membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
- Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan gagasan-gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.
- Membantu siswa menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena mengarah padakebenaran yang final dan tertentu atau pasti.
- Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.
- Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi proses belajar yang baru.
- Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.
- Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.
- Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik.
- Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang.
- Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia seutuhnya.
- Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa.
- Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar.
- Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu.
- Menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau berpikir atau mengungkapkan hubungan antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan frustasi.
- Tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karena membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan masalah lainnya.
- Harapan-harapan yang terkandung dalam model ini dapat buyar berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama.
- Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman, sedangkan mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang mendapat perhatian.
- Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur gagasan yang dikemukakan oleh para siswa
- Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berpikir yang akan ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.
Menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan Discovery Learning
di kelas,ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan
belajar mengajar secara umum antara lain sebagai berikut :
Pertama-tama
pada tahap ini siswa dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan tanda
tanya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar
timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Di samping itu guru dapat
memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku,
dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan
masalah.
Setelah
dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan
kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda
masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya
dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas
pertanyaan masalah) (Syah 2004:244). Permasalahan yang dipilih itu
selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis,
yakni pernyataan sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang
diajukan.
Memberikan
kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan
yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa
agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah.
Ketika
eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa
untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap
ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya
hipotesis.
Dengan
demikian siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection)
berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek,
wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya.
Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk
menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi,
dengan demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan masalah
dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
Semua
informasi hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya
diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung
dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan
tertentu (Djamarah, 2002:22). Data processing disebut juga dengan
pengkodean/kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan
generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan
pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu
mendapat pembuktian secara logis.
Pada
tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan
benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan
alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244).
Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan
dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui
contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.
Berdasarkan
hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau
hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah
terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.
Tahap
generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah
kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua
kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi
(Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan
prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan
siswa harus memperhatikan proses generalisasi yang menekankan
pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah atau
prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta
pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman
itu.
Dalam
Model Pembelajaran Discovery Learning, penilaian dapat dilakukan dengan
menggunakan tes maupun nontes, sedangkan penilaian yang digunakan dapat
berupa penilaian kognitif, proses, sikap, atau penilaian hasil kerja
siswa. Jika bentuk penilaiannya berupa penilaian kognitif, maka dapat
menggunakan tes tertulis. Jika bentuk penilaiannya menggunakan
penilaian proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa dapat
menggunakan nontes.
Selasa, 13 Juni 2017
DinamikaPengembangan Kurikulum SMK
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Profil manusia Indonesia yang ingin dihasilkan
melalui jenjang pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen), dijabarkan dalam
bentuk Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang pada awalnya dimuat dalam
Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan
untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, kemudian diubah menjadi
Permendikbud Nomor 54 Tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan
Dasar dan Menengah, dan diubah terakhir menjadi Permendikbud Nomor 20 Tahun
2016. Namun Lampiran Permendikbud Nomor 20 Tahun 2016 tersebut tidak memuat SKL
untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), sementara
proses pendidikan di SMK/MAK terus berlangsung. Oleh karena itu, unit kerja terkait
–dalam hal ini Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan Direktorat
Pembinaan SMK--memandang perlu segera menyusun SKL untuk SMK/MAK, agar dapat
digunakan sebagai pegangan dalam proses selanjutnya. Perumusan SKL merupakan
tahap awal dalam penyusunan kurikulum, yang selanjutnya perlu diikuti dengan
penyusunan Standar Isi (SI), Standar Proses (SP), dan Standar Penilaian
Pendidikan (SPP). Proses penyusunan standar-standar tersebut secara prosedural
telah selesai dilaksanakan, dan saat ini telah diajukan untuk ditetapkan
menjadi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Pasal 18 ayat (3) menegaskan bahwa “Pendidikan
menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah
menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain
yang sederajat. Pada penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 15
dikemukakan bahwa “Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang
mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu”.
Lebih lanjut, pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 26
ayat (3) dikemukakan bahwa “Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan
menengah kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya”.
Bekerja pada bidang tertentu sebagaimana dimaksud UU
Sisdiknas di atas tentu sesuai dengan jenis-jenis bidang pekerjaan yang
tersedia di lapangan kerja, baik bekerja mandiri atau berwirausaha maupun
bekerja pada pihak lain. Karena itulah, penerapan prinsip diversifikasi dalam
pengembangan Kurikulum SMK diwujudkan dengan keharusan mengacupada jenis-jenis
bidang pekerjaan atau keahlian yang berkembang dan kecenderungan dibutuhkan di
dunia kerja dan dunia industri (DU-DI). Jenis-jenis bidang pekerjaan atau
keahlian itulah yang kemudian di lingkungan pendidikan menengah kejuruan
dikenal dengan sebutan Spektrum Keahlian
Pendidikan Menengah Kejuruan (Spektrum Keahlian PMK). Luas dan percepatan perkembanganbidang-bidang
pekerjaan yang ada di DU-DI serta berkembangnya tuntutan kebutuhan pembangunan
wilayah/daerah dalam kaitannya dengan perencanaan dan pengembangan
ketenagakerjaan untuk memacu pertumbuhan pembangunan di segala bidang,
senantiasa memerlukan pemetaan ulang Spektrum Keahlian PMK.
Dalam rangka menyesuaikan kurikulum dengan
karakteristik satuan pendidikan SMK, Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) yang kemudian
diubah menjadi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 60 Tahun 2014
tentang Kurikulum 2013SMK/MAK, pada lampiran 1a terkait dengan Struktur
Kurikulum SMK/MAK antara lain ditegaskan bahwa dalam penetapan penjurusan
sesuai dengan bidang/program/paket keahlian mempertimbangkan Spektrum Keahlian
Pendidikan Menengah Kejuruan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan
Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Berdasarkan Permendikbud Nomor 70 Tahun 2013 tersebut,
maka diterbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Menengah Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 7013/D/KP/2013 tentang Spektrum Keahlian
Pendidikan Menengah Kejuruan. Pada keputusan tersebut ditegaskan bahwa
“Spektrum Keahlian sebagaimana dimaksud merupakan acuan dalam pembukaan dan
penyelenggaraan bidang/program/paket keahlian pada SMK/MAK”.
Spektrum tersebut yang menjadi satu-satunya acuan
dalam pengembangan dan penyelenggaraan jenis-jenis program pendidikan pada
satuan pendidikan menengah kejuruan (SMK/MAK), ternyata ada perubahan
pengorganisasian program pendidikan pada SMK/MAK sebagaimana terkandung dalam
Permendikbud Nomor 70 Tahun 2013, sehingga harus dikeluarkan Keputusan Dirjen
Dikmen tentang Spektrum Keahlian PMK seiring dengan lahirnya Kurikulum 2013
SMK. Secara logis-legalitas, dengan lahirnya Permendikbud Nomor 60 Tahun 2014
tentang Kurikulum 2013 SMK/MAK menggantikan Permendikbud Nomor 70 Tahun 2013,
maka Spektrum PMK yang merupakan peraturan turunannya harus juga disesuaikan.
Di sisi lain terdapat surat Menteri Koordinator Bidang
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Nomor B.14/MENKO/PMK/I/2015 tanggal 27
Januari 2015 perihal Hasil Rakor Tingkat Menteri tentang Link and Match
Pendidikan Kejuruan dengan Pembangunan Ekonomi, yang di antara sekian banyak
kesepakatannya untuk ditindaklanjuti adalah: (1) Melakukan review terhadap Spektrum Keahlian Pendidikan Menengah Kejuruan dan
Politeknik dan (2) Melakukan Penataan Program Keahlian di SMK melalui Program Reengineering.
Dua kenyataan di atas menjadi alasan bagi Direktorat
Pembinaan SMK untuk segera melakukan penataan ulang Spektrum Keahlian PMK yang
ada, agar lebih memenuhi tuntutan kebutuhan dunia kerja, perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni.
Penataan spektrum iniharus terus-menerus memperhatikan
dan mengantisipasi perkembangan yang terjadi dalam proses penyusunan standar
PMK, khususnya penyusunan SKL dan SI yang isinya harus menjadi dasar dan acuan
dalam penyusunan Spektrum Keahlian PMK yang meliputi penataan jenis-jenis program
pendidikan, penataan struktur kurikulum, dan
penataan kompetensi dasar PMK.
B. Tujuan
Penataan ulang Spektrum Keahlian, Struktur Kurikulum,
dan Kompetensi Dasar PMK bertujuan untuk:
1. Menata
kembali berbagai ketentuan dan aturan yang terkait dan terkandung pada Spektrum
Keahlian PMK dan Kompetensi Dasar Kejuruan pada SMK/MAK, sehingga aturan-aturan
tersebut jelas hirarchinya, selaras satu sama lain, dan tidak berpotensi
menimbulkan konflik pada implementasinya.
2. Merumuskan
dan menata kembali Spektrum Keahlian PMK dalam bentuk Kompetensi Keahlian yang
relatif memiliki kesetaraan dan mengakomodasi kebutuhan dunia kerja, kemudian
dikelompokkan dalam Program Keahlian dan Bidang Keahlian secara homogin.
3. Merumuskan
dan menata kembali Struktur Kurikulum masing-masing Kompetensi Keahlian yang
dapat mengakomodasi kebutuhan dunia kerja terkait, kebutuhan peserta didik, dan
memenuhi ketentuan Standar Pendidikan Nasional.
4. Merumuskan
dan menata kembali KI-KD untuk setiap Kompetensi Keahlian yang telah ditetapkan
pada spektrum dengan mempertimbangkan keluasan dan kedalaman yang implementable, dibedakan atas Dasar
Bidang Keahlian, Dasar Program Keahlian, dan Kompetensi Keahlian, serta
memenuhi kaidah-kaidah penulisannya.
5. Mengelompokkan
(clustering) KI-KD muatan peminatan kejuruan
menjadi mata pelajaran kelompokdasar kejuruan, dasar keahlian, dan kompetensi
keahlian yang mengacu pada skema uji dan sertifikasi kompetensi.
C. Ruang LingkupPedoman
Ruang lingkup pedoman ini berisi pedoman tentang
penataan ulang Spektrum Keahlian PMK, Struktur Kurikulum,dan Kompetensi Dasar Mata
Pelajaran Pendidikan Menengah Kejuruan.
D. Hasil yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dari kegiatan Penataan Spektrum
Keahlian, Struktur Kurikulum, dan Kompetensi Dasar (KD)Pendidikan Menengah
Kejuruan ini adalah:
1. Tertatanya
Spektrum Keahlian PMK dalam bentuk Kompetensi Keahlian yang memiliki kesetaraan
satu sama lain, untuk mengakomodasi kebutuhan dunia kerja, dikelompokkan dalam
Program Keahlian dan Bidang Keahlian, serta memenuhi ketentuan Standar Nasional
Pendidikan.
2. Tertatanya
Struktur Kurikulum masing-masing Kompetensi Keahlian yang mengakomodasi kebutuhan
dunia kerja terkait, kebutuhan peserta didik, serta memenuhi ketentuan Standar
Nasional Pendidikan.
3. Tertatanya
KI-KD untuk setiap Kompetensi Keahlian yang telah ditetapkan, memiliki keluasan
dan kedalaman yang implementable,
dibedakan atas DasarKejuruan, Dasar Program Keahlian dan Kompetensi Keahlian,
serta memenuhi kaidah-kaidah penulisan.
4. Terumuskannya
mata pelajaran kelompokmuatan Nasional,muatan Kewilayahan, muatan Dasar
Kejuruan,muatan Dasar Keahlian, dan muatan Kompetensi Keahlian untuk setiap Bidang
Keahlian, Program Keahlian, dan Kompetensi Keahlian.
BAB
II
KONSEP
PENATAAN SPEKTRUM KEAHLIAN PMK
A. Pengertian
Spektrum Keahlian PMK adalah jenis-jenis program
pendidikan serta rambu-rambu penyelenggaraan program pendidikan pada SMK/MAK,
sebagai acuan dalam membuka dan mengembangkan program pendidikannya.
Jenis-jenis program pendidikan pada Spektrum Keahlian diorganisasikan
dalam bentuk bidang keahlian, program keahlian, dan kompetensi keahlian,
dilengkapi dengan struktur kurikulum serta ruang lingkup kompetensi untuk
masing-masing kompetensi keahlian.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010
Pasal 80 ayat (3) bahwa satuan program pendidikan di SMK/MAK disebut Kompetensi
Keahlian, makadalam penataan spektrumini istilah Paket Keahlian yang digunakan
untuk menyebut satuan program pendidikan pada Spektrum Keahlian PMK sebelumnya,
diubah menjadi Kompetensi Keahlian.
B. Fungsi
Spektrum Keahlian PMK berfungsi sebagai dasar
pengembangan program peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing lulusan
pendidikan menengah kejuruan (SMK/MAK) baik dalam lingkup nasional, regional
maupun internasional. Sedangkan fungsi Spektrum Keahlian PMK dalam konteks
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan pada SMK/MAK antara lain sebagai
berikut.
1. Memberikan
acuan dalam pengembangan dan penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan
pada SMK/MAK, khususnya dalam pembukaan dan penyelenggaraan bidang/program/kompetensi
keahlian;
2. Memberikan
acuan dalam pengembangan kurikulum, pembelajaran, dan penilaian pendidikan dan
pelatihan pada tingkat satuan pendidikan SMK/MAK;
3. Menjadi
acuan dalam menentukan tingkat efektivitas dan relevansi pendidikan dan
pelatihan pada SMK/MAK, dan
4. Menjadi
acuan untuk pelaksanaan penilaian dan akreditasi SMK/MAK.
C. Hakikat Spektrum Keahlian PMK
Spektrum Keahlian PMK pada hakikatnya merupakan wahana
untuk mengakomodasi kebutuhan dunia kerja secara kontekstual dengan potensi
lingkungan, diorganisasikan dalam bentuk Bidang Keahlian, Program Keahlian, dan
Kompetensi Keahlian.
1.
Bidang Keahlian merupakan kumpulan program keahlian yang memiliki kesamaan karakteristikdan memerlukan dasar bidang kajian yang
sama.
2.
Program Keahlian merupakan kumpulankompetensi keahlian yang memilikikarakteristik dasar-dasar keahlian/pekerjaan/tugas yang sama.
3. Kompetensi
Keahlian adalah satuan program
pendidikan dan pelatihan yang didasarkan atas tugas-tugas pada
jabatan/pekerjaan tertentu, dengan durasi pendidikan dan pelatihan satuan
pendidikan menengah 3 atau 4 tahun.Pada suatu Kompetensi Keahlian
yang dibuka, SMK/MAK dapat mengkhususkan kompetensi tertentu sesuai dengan
tuntutan kebutuhan dunia kerja terkait (konsentrasi keahlian) dengan tidak
mengabaikan kemampuan dasar keahlian yang bersangkutan.
Kompetensi Keahlian sebagai
satuan program pendidikan pada SMK/MAK harus memenuhi kriteria sebagai berikut.
a. Kompetensi
keahlian merupakan program pendidikan kejuruan yang mampu membentuk lulusan
menguasai suatu jenis jabatan profesi keahlian formal yang berjenjang, agar
pengalaman belajar atau skill yang
diperoleh peserta didik lebih bermakna bagi dirinya untuk hidup mandiri atau
melanjutkan ke pendidikan vokasional yang lebih tinggi. Oleh karena itu, lapangan kerja lulusan setiap kompetensi
keahlian harus terdeskripsikan secara jelas dan spesifik.
b. Setiap satuan program pendidikan (kompetensi
keahlian) dilengkapi dengan ruang lingkup kompetensi yang mengacu kepada
standar kompetensi yang digunakan di dunia kerja; standar-standar kompetensi kerja
yang berlaku secara Nasional, Regional, maupun Internasional seperti Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), standar industri tertentu, standar asosiasi
atau komunitas tertentu yang diakui keberadaannya. Ruang lingkup kompetensi
tersebut kemudian dikemas dengan memperhatikan rambu-rambu Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia (KKNI).
c. Suatu program pendidikan dinyatakan layak sebagai
sebuah kompetensi keahlian, apabila untuk menguasainya (khusus kejuruannya)
memerlukan waktu minimal tatap muka terstruktur 2856jam pelajaran @ 45 menit
untuk program pendidikan 3 tahun atau 4284jam pelajaran @ 45 menituntuk program
pendidikan 4 tahun dengan kompetensi-kompetensi yangutuh dan komprehensif
meliputi dasar bidang, dasar program, dan kompetensi keahlian.
d. Perbedaan muatan kompetensi satu satuan program
pendidikan (Kompetensi Keahlian)dengan Kompetensi Keahlian yang lainnya dalam
satu Program Keahlian minimal 35 %, dilihat dari bobot beban belajar peserta didik.
e. Mempertimbangkan tahapan perkembangan peserta
didik secara fisik dan psikologis.
Pengertian Spektrum Keahlian PMK diperluas sebagaimana
yang dimaksud dalam program pengembangan Kurikulum SMK yang dirancang oleh
Direktorat Pembinaan SMK, yaitu tidak semata-mata mengenai daftar jenis-jenis
program pendidikan pada SMK tetapi meliputi daftar Kompetensi Keahlian,
Struktur Kurikulum masing-masing Kompetensi Keahlian, dan KI-KD seluruh Mata
Pelajaranuntuk setiap Kompetensi Keahlian pada SMK. Bahkan, akan sangat bagus
jika dilengkapi dengan “Deskripsi Singkat” untuk masing-masing Kompetensi
Keahlian.
BAB
III
KONDISI
SEKARANG
A. Spektrum Keahlian PMK
1.
Jenis-jenisprogram
pendidikan yang dikembangkan pada SMK/MAK (disebut spektrum keahlian) pada
dasarnya merupakan keahlian-keahlian atau jabatan-jabatan pekerjaan (occupation) yang ada dan berkembang di
dunia kerja.
2.
Suatu
keahlian atau jabatan pekerjaan yang ada dapat berupa hasil pemfusian dari sejumlah disiplin
keilmuan.
3.
Berdasarkan
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Menengah Kementerian Dikbud Nomor
7013/D/KP/2013, Spektrum Keahlian PMK terdiri atas 9 (sembilan) Bidang
Keahlian, 46 Program Keahlian, dan 128 Paket Keahlian sebagaimana dapat
ditelaah pada Tabel 1 berikut (daftar selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran
1). Pada spektrum ini nama satuan program pendidikan disebut Paket Keahlian,
selanjutnya dalam perubahan spektrum yang dirancangkan diubah menjadi
Kompetensi Keahlian.
Tabel 1
REKAPITULASI BIDANG/PROGRAM/PAKETKEAHLIAN
PENDIDIKAN MENENGAH KEJURUAN 2013
BIDANG KEAHLIAN
|
PROGRAM KEAHLIAN
|
PAKET KEAHLIAN
|
1. Teknologi
dan Rekayasa
|
18
|
62
|
2. Teknik
Informasi dan Komunikasi
|
3
|
7
|
3. Kesehatan
|
2
|
6
|
4. Agribisnis
dan Agroteknologi
|
6
|
16
|
5. Perikanan
dan Kelautan
|
3
|
8
|
6. Bisnis
dan Manajemen
|
3
|
5
|
7. Pariwisata
|
4
|
7
|
8. Seni
Rupa dan Kriya
|
2
|
10
|
9. Seni
Pertunjukan
|
5
|
7
|
JUMLAH
|
46
|
128
|
Rincian
Program/Paket Keahlian selengkapnya, lihat Lampiran 1.
Spektrum Keahlian tersebut merupakan acuan bagi
sekolah (SMK/MAK) untuk membuka dan mengembangkan program pendidikan. Sekolah
hanya boleh membuka atau menyelenggarakan program pendidikan sesuai dengan
spektrum keahlian yang berlaku.
4.
Beberapa
nama Program/Paket Keahlian dan pengelompokannya masih ada yang perlu dikaji kembali
dan disesuaikan, misalnya:
a.
Pengelompokan
beberapa Paket Keahlian yang hanya mempertimbangkan kesamaan bidang/lapangan
pekerjaan, tetapi secara keahlian dan keilmuan tidak saling berhubungan,
misalnya pada Program Keahlian Kesehatan yang mewadahi Keperawatan, Keperawatan
Gigi, Analisis Kesehatan, Farmasi dan Farmasi Industri; sulit sekali mencari
kesamaan Dasar Keahlian/Keilmuan yang sama antara keperawatan dan kefarmasian.
b.
Pengelompokan
Program Keahlian yang tidak setara contohnya pada Program Keahlian Kesehatan
dan Perawatan Sosial pada Bidang Keahlian Kesehatan, sehingga sulit merumuskan
tuntutan kompetensi yang sama pada tingkat bidang keahlian.
a.
Adanya
peraturan perundangan baru sehingga perlu penyesuaian terhadap Paket Keahlian
pada Bidang Keahlian Kesehatan.
c.
Bidang
Keahlian Perikanan dan Kelautan yang mewadahi Program Keahlian Teknologi
Penangkapan Ikan, Program Keahlian Teknik dan Produksi Perikanan Budidaya, dan
Program Keahlian Pelayaran tampak kurang homogin.
d.
Demikian
pula nama Program Keahlian Teknologi Penangkapan Ikan yang mewadahi Paket
Keahlian Nautika dan Paket Keahlian Teknika tidak konsisten dengan nama Program
Keahlian Pelayaran yang juga mewadahi Paket Keahlian Nautika dan Paket Keahlian
Teknika. Sepintas difahami yang membedakan keduanya adalah jenis kapal dan
tujuan pelayaran.
5.
Beberapa
nama Paket Keahlian dianggap kurang familier di masyarakat umum, kurang
marketable dan tidak mudah dikenali. Sekolah merasa kesulitan dalam menawarkan
dan memasarkan program keahlian yang dibuka. Contoh Paket Keahlian Teknik
Kendaraan Ringan.
6.
Program
keahlian yang terlalu spesifik/sempit akan menyulitkan penempatan dan peluang
bekerja bagi lulusannya. Contoh Tata Kecantikan Rambut, dan Tata Kecantikan
Kulit.
7.
Diperlukan
kajian lebih mendalam tentang kelayakan setiap paket keahlian untuk durasi
pembelajaran pada pendidikan menengah 3 dan atau 4 tahun.
8.
Masih
perlu penggalian program keahlian yang berorientasi pada keunggulan lokal yang
belum terwadahi.
9.
Sangat
diperlukan ada kajian program keahlian yang memiliki nilai jual internasional
sebagai pendukung program sekolah unggulan/rujukan.
10.
Masih
perlu pendalaman tentang keterkaitan program/paket keahlian yang dibuka dengan
KKNI (terutama kaitannya dengan levelling) dan Standar Kompetensi Kerja yang
berlaku dalam rangka skema pengujian dan sertifikasi.
11.
Ruang
lingkup kompetensi dan cara merumuskan Kompetensi Dasar untuk kejuruan/keahlian
masih sangat bervariasi dan belum terstandar.
B. Struktur Kurikulum
Struktur Kurikulum SMK/MAK yang berlaku dirancang
sebagai kesatuan jenjang pendidikan menengah, dimana SMK/MAK bersama-sama
SMA/MA dipandang sebagai satu entitas jenjang pendidikan yang sama; jenjang
pendidikan menengah. Pandangan tersebut mengharuskan SMK/MAK dan SMA/MA bersama-sama
memiliki standar minimal yang sama sebagai pendidikan menengah.
Atas dasar pertimbangan tersebut, struktur kurikulum
pendidikan menengah dirancang mengandung 3 (tiga) komponen program, yaitu:
1. Kelompok
mata pelajaran A; diklasifikasikan sebagai program wajib, ditetapkan dan
berlaku sama secara Nasional, baik isi maupun alokasi waktunya.
2. Kelompok
mata pelajaran B; diklasifikasikan sebagai program wajib, ditetapkan secara
Nasional tapi Daerah boleh memodifikasi dan menyesuaikannya dengan kebutuhan
dan kearifan setempat.
3. Kelompok
mata pelajaran C; merupakan kelompok mata pelajaran pilihan sesuai dengan minat
peserta didik.
Tabel 2 berikut adalah struktur kurikulum pendidikan
menengah secara generik.
Tabel 2
STRUKTUR KURIKULUM PENDIDIKAN MENENGAH
(GENERIK)
Mata
Pelajaran
|
Kelas
|
|||
X
|
XI
|
XII
|
||
Kelompok A (Wajib)
|
||||
1
|
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti
|
3
|
3
|
3
|
2
|
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
|
2
|
2
|
2
|
3
|
Bahasa Indonesia
|
4
|
4
|
4
|
4
|
Matematika
|
4
|
4
|
4
|
5
|
Sejarah Indonesia
|
2
|
2
|
2
|
6
|
Bahasa Inggris
|
2
|
2
|
2
|
Kelompok B (Wajib)
|
||||
7
|
Seni Budaya
|
2
|
2
|
2
|
8
|
Pendidikan Jasmani, Olah Raga, dan Kesehatan
|
3
|
3
|
3
|
9
|
Prakarya dan Kewirausahaan
|
2
|
2
|
2
|
Jumlah JP Kelompok A dan B per Minggu
|
24
|
24
|
24
|
|
Kelompok C (Peminatan)
|
||||
Mapel Peminatan Akademik (SMA)
|
18
|
20
|
20
|
|
Mapel Peminatan Akademik dan Vokasi (SMK)
|
24
|
24
|
24
|
|
Jumlah JP per Minggu (SMA)
|
42
|
44
|
44
|
|
Jumlah JP per Minggu (SMK)
|
48
|
48
|
48
|
Langganan:
Postingan (Atom)